Perpustakaan Babel

novan aulia
10 min readMay 30, 2024

--

Ilustrasi Perpustakaan Babel

Oleh: Jorge Luis Borges

Dunia (yang orang-orang sebut Perpustakaan) tersusun dari galeri heksagonal yang tidak diketahui berapa jumlahnya, jumlahnya mungkin tak terhingga, dengan tingkap besar yang dikelilingi pagar yang begitu rendah di tengahnya. Lantai atas maupun lantai bawah bisa terlihat dari heksagon mana pun, tak berujung. Sebaran galerinya tak berubah-ubah. Dua puluh rak–lima rak panjang di setiap sisi–menutupi semua sisi, kecuali dua sisi dinding; tingginya, di tiap-tiap lantai, hampir tidak melebihi rata-rata tinggi pustakawan. Salah satu sisi yang terbuka mengarah ke jalan masuk yang sempit, yang menuju ke galeri lain, begitupun dengan galeri satu dengan galeri lain. Di kiri dan kanan pintu masuk terdapat dua ruangan kecil. Ruangan satu untuk menunggu giliran tidur, ruangan yang lain untuk buang hajat. Dari ruangan tersebut menembus tangga spiral, yang menjuntai ke dalam jurang dan meninggi ke atas. Di pintu masuknya terpancang sebuah cermin yang tak henti-hentinya merangkap wujud. Lantaran cermin ini, orang kerap mengira Perpustakaan punya batasan (jika benar begitu, kenapa ilusi ini ia rangkap juga?); Aku berharap permukaan cermin itu dipoles dan menjanjikan ketidakterbatasan…..

Cahaya bersumber dari sejumlah buah berbentuk bulat yang disebut dengan lampu. Ada dua buah lampu yang melintang di setiap heksagon. Cahaya yang ia pancarkan redup, tak kunjung padam.

Sama seperti semua orang di Perpustakaan ini, aku pernah berkelana saat aku masih muda. Aku telah berkelana mencari buku, barangkali dari katalog ke katalog; kini mataku hampir tak mampu lagi menjabarkan apa yang kutulis, aku bersiap menjemput ajal beberapa liga[1] dari heksagon tempat aku dilahirkan. Saat ajalku tiba nanti, cukup banyak tangan-tangan rahib yang menghempaskanku ke atas tangga; nisanku akan diselimuti kabut misterius: jasadku akan terkubur dalam waktu lama dan akan hancur lebur dikikis angin musim gugur berulang-ulang kali. Aku sependapat bahwa Perpustakaan tidak berkesudahan. Para idealis pikir aula heksagonal merupakan bentuk penting dari ruang absolut atau, setidaknya, dari intuisi kita terhadap suatu ruang. Mereka yakin aula triangular atau pentagonal tidak dapat dilukiskan. (Penganut aliran mistis mengungkapkan bahwa, bagi mereka, ekstasi bisa menuntun ke sebuah ruangan bundar yang berisi sebuah buku besar yang punggung bukunya melingkungi sisi dinding; tetapi pengakuan mereka mencurigakan; samar-samar, kata mereka; Buku yang melingkung itu ialah Tuhan.) Sementara ini, cukup bagiku untuk mengulang kembali selarik diktum klasik: Perpustakaan merupakan sebuah bola yang pusatnya berbentuk segi enam dan kelilingnya dapat dijangkau.

Lima rak sejajar dengan masing-masing sisi heksagon; setiap rak berisi tiga puluh dua buku yang berukuran sama; setiap buku terdiri dari empat ratus halaman; setiap halaman terdiri dari empat puluh baris; setiap baris terdiri dari sekitar delapan puluh abjad. Adapun abjad di setiap punggung buku itu; abjad tersebut tidak menunjukan atau menggambarkan apa yang ditulis di halaman buku itu. Aku tahu kurangnya korelasi hal semacam itu suatu saat menimbulkan kesan misterius. Namun, sebelum merumuskan solusinya (yang penjelasannya, walau punya akibat yang buruk, kemungkinan akan menjadi fakta penting dalam perkembangannya), aku ingin mengingat kembali sejumlah aksioma.

Pertama: perpustakaan bersifat ab aeterno. Tak ada siapapun yang meragukan aksioma yang niscaya menuntun menuju keabadian ini. Manusia, pustakawan yang tidak sempurna, mungkin hanyalah ciptaan demiurge yang jahat semata. Dunia, dengan rak-raknya yang indah, isinya yang penuh teka-teki, tangga-tangga yang tak henti-hentinya dilangkahi para pengelana, dan kakus bagi pustakawan yang berjaga hanyalah ciptaan tuhan. Untuk memahami batasan antara tuhan dengan manusia cukup dengan membandingkan simbol-simbol kesat yang ditulis oleh tangan kotorku di halaman terakhir sebuah buku yang berisi abjad-abjad organik di dalamnya: eksak, halus, hitam pekat, dan mulanya simetris.

Kedua: jumlah tanda ortografis berjumlah dua puluh lima. Secercah bukti ini membuat tiga ratus tahun yang lalu rumusan teori umum perpustakaan dan penyelesaiannya yang ciamik atas permasalahan riil belum bisa dijelaskan dengan pasti: bentuk hampir semua buku yang tak beragam dan semrawut. Salah satu buku tersebut, yang dilihat ayahku di heksagon di daerah nomor seribu lima ratus empat puluh sembilan, tersusun dari huruf MCV yang diulang-ulang dengan cara yang aneh dari baris pertama hingga baris terakhir. Buku lain, yang banyak dirujuk di daerah ini, cuma labirin huruf. Namun orang hanya bisa melihat kata Piramid-piramidmu wahai sang kala di halaman setelahnya hingga halaman terakhir. Seperti yang kau tahu: dari satu baris kata yang mengalir atau dari satu ritme yang lugas, terdapat banyak ketidakteraturan yang irasional berupa kata-kata yang tidak jelas dan tidak koheren.

Aku tahu kawasan liar yang pustakawannya tidak percaya mitos sepele ketika menyelidiki makna dari buku dan membandingkannya dengan makna dari mimpi melalui garis-garis acak di tangan seseorang.… Mereka menyebut penemu tulisan ini menjiplak dua puluh lima simbol-simbol asli, tetapi mereka mengaku bahwa praktik ini hanyalah kebetulan semata dan buku-buku itu sendiri tidak punya makna apapun. Pendapat ini–yang nanti kita bahas–tidak sepenuhnya salah.

Dalam waktu yang lama, buku-buku yang diyakini tidak dapat dijangkau ini ditulis dalam bahasa kuna atau bahasa asing. Memang benar jika orang-orang terdahulu, pustakawan pertama, menggunakan bahasa yang sangat berbeda dengan bahasa yang kita gunakan saat ini; benar jika beberapa mil ke arah kanan, bahasanya dialektis dan sembilan puluh lantai ke atas bahasanya tidak mudah dipahami. Aku tegaskan, semua itu benar; empat ribu sepuluh halaman MCV yang tidak berubah itu tidak berkaitan dengan bahasa mana pun, sedialektis apapun bahasanya atau mengakarnya bahasa itu. Sejumlah pustakawan menyoalkan setiap huruf yang dapat memberi pengaruh pada huruf setelahnya. Dan nilai MCV pada baris ketiga halaman 71 yang berbeda dengan nomor halaman yang sama di bagian halaman yang lain. Namun pendapat yang kabur ini tidak terbukti; adapun orang mengaitkan masalah itu dengan penyandian; Asumsi ini telah diterima secara luas, meski dalam pengertian yang berbeda dengan apa yang telah dirumuskan oleh pencetusnya.

Lima ratus tahun lalu, kepala heksagon bagian atas menemukan buku yang sama membingungkannya dengan buku lain. Bedanya buku ini tersusun dari hampir dua halaman baris tulisan yang homogen. Ia menunjukan temuannya kepada seorang penyandi pincang, yang memberi tahu bahwa tulisan itu ditulis dalam bahasa Portugis. Penyandi lain menerangkan bahwa tulisan itu ditulis dalam bahasa Yiddi. Dalam rentang kurang dari satu abad, asal muasal bahasa itu akhirnya terkuak: itu merupakan bahasa Samoyed-Lithuania berdialek Guarani, dengan infleksi bahasa Arab klasik. Isinya juga diungkap: gagasan mengenai analisis kombinasional yang diilustrasikan dengan contoh variasi yang diulang-ulang. Contoh ini menuntun seorang pustakawan genius menemukan hukum dasar Perpustakaan. Pemikir ini mengamati bahwa semua buku, seberagam apapun, terdiri dari unsur yang sama: titik, koma, spasi, dua puluh dua huruf alfabet. Dia juga mengemukakan hal yang dapat diterima seluruh pengelana: Di seluruh Perpustakaan yang luas ini, tidak ada dua buku yang identik. Berdasarkan asumsi yang tidak terbantahkan ini, dia menyimpulkan bahwa Perpustakaan bersifat total dan rak-raknya memuat semua kemungkinan kombinasi dua puluh tanda ortografis (yang isinya ganjil, meski tak banyak, jumlahnya terbatas); yaitu apapun yang dapat diungkapkan dalam semua bahasa. Semua ada di sana: bocoran masa yang akan datang, otobiografi sang penghulu malaikat, katalog Perpustakaan yang lengkap, beribu-ribu katalog bajakan, pembuktian kekeliruan katalog tersebut, pembuktian kekeliruan katalog yang asli, Injil Gnostic Basilides, tafsiran injil tersebut, tafsir dari tafsiran injil tersebut, riwayat kematianmu, edisi setiap buku dalam semua bahasa, interpolasi setiap buku di semua buku.

Luapan kebahagiaan adalah salah satu kesan pertama yang muncul ketika ada yang menyebut Perpustakaan penuh dengan buku. Semua orang merasa diri mereka menjadi juru rahasia dari harta yang tak ternilai. Tidak ada masalah pribadi atau dunia yang tidak punya jalan keluar–dalam sejumlah heksagon. Dunia diejawantahkan, dunia seketika meluas hingga dimensi asa menjadi tak terbatas. Pada saat itu ada banyak perbincangan mengenai Pemulihan: buku tentang permintaan maaf dan nujum, yang memulihkan semua tindakan setiap orang di dunia dan menyimpan banyak rahasia di masa mendatang. Ribuan orang tamak meninggalkan heksagon tempat mereka dilahirkan dan berkerumun menaiki tangga karena didorong oleh tujuan kosong untuk mencari pemulihan untuk dirinya. Para peziarah tersebut berdesak-desakan di koridor-koridor sempit, melontarkan sumpah-serapah, saling mencekik di tangga besar, melemparkan buku-buku bajakan ke dasar terowongan dan mati ketika dilempar ke luar angkasa oleh orang-orang dari daerah terpencil. Beberapa orang menjadi gila….

Pemulihan itu memang ada. Aku sendiri telah membaca dua buku yang menerangkan tentang manusia dari masa depan ini, yang mungkin bukan sekadar khayalan. Namun, si penyelidik tidak sadar bahwa hampir tidak mungkin seseorang menemukan buku miliknya, atau edisi lain dari buku miliknya.

Rahasia umat manusia–riwayat perpustakaan dan waktu–juga dinantikan penjelasannya. Diyakini bahwa rahasia besar itu dapat dijelaskan dengan kata-kata: jika bahasa para filsuf tidak memadai, berbagai Perpustakaan dapat menghasilkan bahasa yang dibutuhkan dengan tidak terduga serta menghasilkan kosakata dan tata bahasa dari bahasa tersebut.

Kini sudah empat abad sejak manusia muak dengan heksagon.

Ada inkuisitor, seorang penyelidik buku resmi. Aku telah mengamati cara mereka menjalankan tugasnya: mereka selalu kepayahan. Mereka mengeluh mengenai tangga tanpa anak tangga yang nyaris membuat mereka mati. Mereka menjelaskan tentang galeri dan tangga bersama pustakawan setempat. Dari waktu ke waktu mereka mengambil buku di dekatnya dan membolak-balik halamannya untuk menyelidiki kata-kata yang terkenal. Dan tentunya tak ada seorang pun yang mengharapkan menemukan sesuatu.

Asa yang tidak biasa ini tentunya menimbulkan depresi akut. Sejumlah rak di beberapa heksagon berisi buku-buku bernilai. Namun, buku-buku ini tidak dapat dijangkau sehingga hampir tidak dapat dikompromi. Sekelompok sekte sesat mengusulkan agar seluruh penyelidikan dihentikan dan semua orang harus mengacak abjad dan simbol di tempat mana pun sampai mereka, dengan seberuntung-beruntungnya, berhasil menyusun kitab kanonik. Petugas yang berwenang tahu mereka dituntut untuk bertindak tegas. Kini sekte tersebut tak terdengar. Namun saat aku masih kecil, aku masih melihat orang tua yang bersembunyi di kakus dalam waktu lama. Dan dengan lemas berkomat-kamit menggerakan cakram logam di dalam kotak dadu terlarang.

Orang lain, sebaliknya, menyebut tugas utamanya adalah melenyapkan karya yang tak bernilai. Mereka mungkin bakal menggeruduk heksagon, menunjukkan identitas yang hampir tidak dapat ditolak, membaca sebuah buku dengan gusar, lantas menghancurkan seluruh rak buku: kegusaran mereka yang kudus, seperti seorang rahib, bertanggung jawab atas lenyapnya jutaan buku dengan konyol. Nama-nama mereka hilang; tetapi mereka yang meratapi “harta karun” yang dihancurkan kekacauan ini mengabaikan dua fakta yang telah secara luas diketahui. Pertama perpustakaan sangat besar sehingga penghilangan yang dilakukan manusia punya pengaruh yang sangat kecil. Kedua: setiap buku unik dan tak terganti, tetapi (karena perpustakaan itu total) akan ada ratusan ribu faksimili yang tidak lengkap–yang cuma beda satu huruf atau satu koma. Berbeda dengan pendapat yang umum, aku yakin bahwa konsekuensi perusakan yang dilakukan oleh para fundamentalis telah dibesar-besarkan dengan kengerian yang ditimbulkan oleh kelompok militan tersebut. Mereka didorong halusinasi untuk menyerbu buku-buku di Crimson Hexagon: buku-buku yang berukuran lebih kecil dari biasanya, buku ketuhanan, buku ilustrasi, dan buku magis.

Kita juga tahu mitos lain pada masa itu: buku induk. Di dalam sejumlah rak di sejumlah heksagon, pikir manusia, pasti ada buku yang merupakan kunci dan ikhtisar lengkap dari buku-buku lain: sejumlah pustakawan telah membacanya dengan teliti dan buku itu dianalogikan sebagai Tuhan. Jejak-jejak ikram dari petugas setempat masih hidup dalam bahasa di kawasan ini. Banyak peziarah yang mencari-Nya. Selama satu abad mereka dengan sia-sia menempuh jalur yang beragam. Bagaimana cara menemukan heksagon yang menyembunyikannya? Seseorang menganjurkan untuk menelusuri dengan pendekatan regresif: untuk menemukan letak buku A, lihat dulu buku B yang menunjukan letak A; untuk menemukan buku B, lihat dulu buku C, dan seterusnya, ad infinitum.

Aku telah menyia-nyiakan dan menghabiskan sisa hidupku dalam petualangan seperti ini. Bagiku, bukan tidak mungkin di suatu tempat di dunia terdapat buku yang benar-benar total. Aku berdoa kepada tuhan asing supaya ada orang–meski hanya satu orang dan mungkin terjadi ribuan tahun lalu!–yang telah memeriksa dan membaca buku itu. Jika kehormatan, kebijaksanaan, dan kebahagian bukan untukku, biarlah itu menjadi milik orang lain. Semoga surga tetap ada meski aku berada di neraka. Biarkah aku murka dan menghancurkannya, tetapi semoga Perpustakaan-Mu yang agung dapat diakui dalam satu bentuk untuk sesaat.

Orang beriman menegaskan bahwa absurditas merupakan hal umum di Perpustakaan dan segala hal dapat diterima dengan akal sehat (bahwa koherensi sederhana dan holistik) merupakan pengecualian yang hampir mengherankan. Mereka berkata (aku tahu) tentang “Perpustakaan yang meradang, yang buku-bukunya yang berbahaya selalu punya risiko untuk diubah menjadi buku lain dan yang di dalamnya selalu ditegaskan, disangkal, dan dikacaukan seperti keilahian yang mengada-ada”. Kata-kata ini tidak hanya mengecam ketidakteraturan, tetapi secara nyata juga menunjukan contoh selera buruk para pembaca dan ketidaktahuan mereka yang menyedihkan. Sebenarnya, Perpustakaan mencakup seluruh struktur verbal, semua variasi yang diperbolehkan oleh dua puluh lima tanda ortografis, tetapi tidak membolehkan adanya absurditas mutlak. Tidak ada gunanya mengamati bahwa buku terbaik dalam banyak heksagon di bawah administrasi saya berjudul Combed Clap of Thunder, atau yang lain disebut The Plaster Cramp, yang masih ada lagi Axaxaxas Mlo. Proporsi seperti yang terkandung dalam judul-judul ini, pada pandangan pertama tidak koheren, pasti menghasilkan sandi atau pemulihan. Karena sifatnya verbal, justifikasi ini sudah ada, ex hypothesis, di Perpustakaan, saya tidak dapat menggabungkan huruf-huruf tertentu, seperti dhcmrlchtdj, yang belum diramal oleh Perpustakaan kudus dalam kombinasinya, dan yang dalam salah satu asa rahasianya tidak mengandung makna jelek. Tidak seorangpun dapat mengartikulasi suku kata yang tidak penuh kelembutan dan ketakutan, dan dalam salah satu bahasa itu, yang bukan merupakan nama kuat dari seorang dewa. Berbicara berarti jatuh ke dalam tautologi. Surat yang tidak berguna dan bertele-tele ini sendiri sudah ada di salah satu dari tiga puluh jilid dari lima rak di salah satu heksagon yang tak terhitung jumlahnya dan begitu pula sanggahannya.

(Dan n jumlah bahasa yang memungkinkan membuat kita memiliki kosakata yang sama; beberapa di antaranya, simbol perpustakaan mengakui definisi yang benar di mana-mana dan sistem galeri heksagonal yang bertahan lama, tetapi perpustakaan adalah roti atau piramida atau apa pun, dan dua belas kata yang mendefinisikannya memiliki nilai yang lain. Kau yang menyimakku, apa kau benar-benar yakin memahami bahasaku?)

Penulisan yang metodis mengalihkan perhatianku terhadap kondisi manusia saat ini. Namun keniscayaan bahwa semuanya telah terjadi sudah tertulis membuat kita tidak berguna dan terus menghantui kita. Aku tahu ada kawasan yang para pemudanya, walau mereka sebetulnya tidak tahu cara menulis satu huruf pun, sujud di depan buku dan mencium halamannya dengan barbar. Epidemi, konflik turun-temurun, dan peziarah yang berubah menjadi seorang bajingan telah membinasakan penduduk. Aku yakin aku telah menyebutkan kasus bunuh diri yang makin sering terjadi tiap tahun. Aku mungkin telah terbuai oleh usia tua dan rasa takut. Namun aku curiga bahwa manusia, spesies manusia yang unik, sedang menuju kepunahan. Sedangkan Perpustakaan akan bertahan selamanya: hidup, terisolir, tak terbatas, senantiasa damai, penuh dengan buku bernilai, tidak punya manfaat, kokoh, rahasia.

Kata tak terbatas baru saja kutulis. Aku menambahkan kata sifat ini bukan karena kebutuhan retoris belaka. Menurutku, tidak mungkin dunia ini tidak terbatas. Mereka yang berpikir itu merupakan hal yang punya batas mengelak bahwa di tempat terpencil, koridor, tangga, dan heksagon tidak akan pernah hilang–suatu absurditas yang nyata. Mereka yang mengira itu tidak terbatas lupa bahwa buku jumlahnya mungkin terbatas. Untuk masalah kuno itu, aku berani menyindir solusi berikut: Perpustakaan tidak terbatas dan punya masanya. Setelah berabad-abad, jika seorang pengelana abadi melaluinya ke segala arah ia akan mendapati bahwa isi di dalamnya berulang dengan ketidakteraturan yang sama (yang, jika diulang, akan membentuk sebuah tatanan: tatanan itu sendiri). Kesendirianku bahagia membayangkan harapan yang indah ini.

Mar del Plata

1941

*Dari buku Ficciones karya Jorge Luis Borges yang diterjemahkan oleh Anthony Kerrigan

--

--