Lapar adalah Bentuk Disiplin yang Baik

novan aulia
9 min readSep 15, 2023

--

Cafe du Dome

Oleh: Ernest Hemingway

Kau mudah sekali merasa lapar ketika kau tidak makan dengan cukup saat berada di Paris, karena seluruh toko roti menampilkan roti-roti yang enak di etalase jendela dan orang-orang menyantapnya di meja di trotoar, sehingga kau bisa melihat dan mencium aromanya. Ketika kau berhenti menulis berita dan menulis sesuatu yang tak seorang pun di Amerika mau membayarnya, dan memberi tahu orang rumah kalau kau sedang berada di luar, tempat terbaik untuk disinggahi adalah taman Luxembourg karena kau tak akan melihat dan mencium aroma makanan apa pun di sepanjang jalan dari Place de l’Observatoire hingga rue de Vaugirard. Di tempat ini, kau bisa keluar masuk ke museum Luxembourg, dan seluruh lukisan di museum ini tampak lebih tajam dan jelas dan lebih indah sewaktu perutmu kosong dan keroncongan. Ketika sedang lapar, aku belajar untuk lebih memahami Cezanne dan memahami bagaimana dia melukis lukisannya. Kuduga dia juga merasa lapar ketika dia melukis; tapi kurasa dia hanya telat makan saja. Asumsi-asumsi kosong tapi mencerahkan itu muncul ketika kurang tidur atau kelaparan. Lalu kukira Cezanne barangkali lapar dalam artian lain.

Ketika kau meninggalkan museum Luxembourg, kau bisa melewati sempitnya rue Ferou menuju Place St-Sulpice dan di sepanjang jalan itu tak ada satu rumah makan pun yang berdiri, hanya ada alun-alun yang sepi dengan bangku dan pepohonan. Di sana berdiri air mancur bersama patung singa, serta terdapat burung-burung dara yang berjalan di atas trotoar dan bertengger di patung-patung uskup. Ada gereja serta toko jubah dan perlengkapan ibadah di utara alun-alun.

Dari alun-alun ini, kau tidak mungkin melalui jalan menuju ke arah sungai tanpa melewati toko-toko buah, sayuran, wine, atau toko roti dan toko kue. Tapi bila jalan dengan hati-hati, kau bisa jalan ke sebelah kanan memutari gereja yang batunya berwarna kelabu dan putih, dan mencapai rue de l’Odeon, lantas belok kanan menuju toko buku Sylvia Beach, dan kau tak akan melewati rumah makan satu pun. Tak ada rumah makan satu pun di rue de l’Odeon hingga di alun-alun, di alun-alun ada tiga rumah makan di sana.

Sesampainya di 12 rue de l’Odéon, kau tak lagi merasa lapar, tapi indramu kembali menjadi lebih peka. Foto-foto yang kau lihat menjadi berbeda dan kau menemukan buku yang belum pernah kau lihat sebelumnya.

“Kau kurus sekali, Hemingway,“ kata Sylvia, “kau sudah cukup makan?”

“Ya.”

“Apa makan siangmu tadi?”

Perutku keroncongan dan aku berkata, “aku pulang dulu untuk makan siang.”

“Makan siang jam tiga sore?”

“Aku tidak sadar sudah sesore ini.”

“Adrienne pernah bilang dia ingin mengajakmu dan Hadley untuk makan malam bersama. Kami mau mengajak Fargue. Kau dekat dengan Fargue, kan? Atau Larbaud. Kau dekat dengannya. Aku tahu kau dekat dengannya. Atau siapa pun yang kau mau. Apa kau mau memberi tahu Handley?”

“Aku tahu dia akan senang bila diajak.”

“Aku akan memberitahunya lewat pneu. Jangan bekerja terlalu keras sampai-sampai kau telat makan.”

“Tidak akan.”

“Pulanglah sekarang sebelum kau melewatkan jam makan siang.”

“Mereka akan menyisakan makanannya.”

“Juga jangan makan makanan yang dingin. Makan makanan yang hangat saja.”

“Ada surat untukku?”

“Kurasa tidak ada. Tapi coba kulihat dulu.”

Dia mencarinya dan menemukan sebuah catatan. Dia tampak senang lantas membuka laci yang tertutup di mejanya.

“Ini sampai ketika aku sedang di luar,” katanya. Catatan itu hanya satu lembar dan seperti ada uang di dalamnya. “Wedderkop,” kata Sylvia.

“Mesti dari Der Querschnitt. Kau bertemu dengan Wedderkop?”

“Tidak. Tapi sewaktu ke sini dia bersama George. Dia ingin menemuimu. Tenang. Barangkali dia ingin membayarmu di muka.“

“Isinya enam ratus franc. Dia bilang akan mengirimmya lagi.”

“Aku sangat senang kau mengingatkanku, Tuan Baik Hati.”

“Konyolnya hanya ke orang Jerman aku bisa mengirim tulisanku. Kepada dia dan ke koran Frankfurter Zeitung.”

“Benarkah? Tapi tenang. Kau bisa menawarkan tulisanmu kepada Ford,” katanya menggodaku.

“Tiga puluh franc per halaman. Katakanlah satu cerita pendek dimuat di The Transatlantic setiap tiga bulan. Cerita sepanjang lima halaman bisa menghasilkan seratus lima puluh franc dalam satu triwulan. Enam ratus franc dalam satu tahun.”

“Tapi, Hemingway, jangan terlalu memikirkan nominalnya. Yang penting kau bisa menulis.”

“Aku tahu. Aku bisa menulisnya. Tapi tak ada yang mau membayarnya. Aku tidak punya pendapatan sejak aku berhenti jadi wartawan.”

“Tulisanmu akan dibayar. Tuh. Kau saja baru mendapat bayaran dari satu tulisanmu.”

“Maaf, Sylvia. Maaf karena aku mengeluh.”

“Maaf karena apa? Karena selalu mengoceh tentang uang atau mengeluh melulu. Apa kau tidak tahu yang dibicarakan penulis hanya masalah mereka? Tapi berjanjilah untuk tidak memikirkannya dan makanlah dengan cukup.“

“Aku janji.”

“Makanya pulang sekarang lantas isi tenagamu.”

Di luar, di rue de l’Odeon, aku merasa jijik dengan diriku lantaran suka mengeluh. Aku melakukannya atas kemauanku sendiri dan bertingkah konyol. Harusnya aku membeli segelondong roti, bukan malah melewatkan jam makan siang. Aku bisa merasakan pinggiran roti yang coklat dan renyah. Tapi tanpa ada sesuatu untuk diminum, rasanya kering sekali di mulut. Dasar orang yang tak bersyukur. Sok suci, sok menderita, munafik, bentakku dalam hati. Kau berhenti jadi wartawan atas kemauanmu sendiri. Kau punya utang dan Sylvia bisa saja memberimu pinjaman. Dia sering memberi pinjaman padamu. Ya. Dan kemudian kau tahu-tahu menggunakannya untuk keperluan lain. Lapar itu sehat dan foto-foto yang kau lihat akan tampak lebih bagus ketika kau sedang lapar. Makan juga rasanya luar biasa dan apa kau tahu di mana kau bisa makan sekarang?

Rumah makan Lipp adalah tempat kau bisa makan dan juga minum.

Aku melangkah dengan cepat menuju Lipp dan di setiap langkahku perutku secepat mata dan kakiku menyadari tempat itu makin dekat, sehingga aku berjalan dengan menyenangkan. Ada beberapa orang di rumah makan itu dan ketika aku duduk di bangku dengan memunggungi dinding di belakang kaca dan menghadap meja di depan, si pelayan rumah makan menawariku segelas bir lantas aku memesan bir dalam distingue, segelas besar bir ukuran satu liter, dan salad kentang.

Birnya sangat dingin dan rasanya benar-benar segar. Rasa pommes a l’huile itu liat dan asin, sementara minyak zaitun sangat nikmat. Aku menabur lada hitam ke atas kentang dan mencelupkan roti ke dalam minyak zaitun. Selepas tenggakan pertama, aku makan dengan perlahan. Selepas pommes a l’huile habis, aku memesannya kembali bersama cervelas. Sosis ini bentuknya mirip seperti frankfurter yang lebar dan gemuk, yang dibelah dua lantas diberi saus mustard khusus.

Aku menuang seluruh minyak zaitun dan saus ke roti, dan minum bir dengan perlahan sampai dinginnya berkurang lantas meminumnya hingga tandas, dan memesan segelas bir ukuran demi dan menunggu pesananku datang. Yang kupesan tampak lebih dingin daripada distingue tadi dan aku minum setengahnya.

Aku tak khawatir, pikirku. Aku tahu tulisanku bagus dan pada akhirnya ada yang bakal menerbitkan tulisanku di kampung halaman. Ketika aku berhenti menulis berita di koran, aku yakin cerita pendek yang kukirim akan diterbitkan, walaupun semua cerita yang kukirim justru dikembalikan. Yang membuatku begitu yakin adalah karena Edward O’Brient memasukan cerita My Old Man ke dalam buku Best Short Story kemudian mempersembahkan buku itu padaku. Lalu aku tertawa lantas minum kembali. Cerita itu belum pernah diterbitkan di majalah mana pun sebelumnya dan dia melanggar aturannya sendiri supaya bisa memasukkan tulisan ke dalam buku itu. Aku kembali tertawa dan si pelayan melirikku. Ceritanya lucu karena, setelah semua yang dilakukannya itu, dia malah keliru mengeja namaku. Cerita itu adalah satu dari dua cerita yang selamat setelah semua yang telah kutulis dan kusimpan dalam koper Hadley dicuri di Gare de Lyon. Kala itu dia ingin mengejutkanku dengan membawa naskah-naskah itu padaku di Lausanne, agar aku bisa menyuntingnya saat liburan di atas. Saat itu dia menaruh naskah asli, naskah ketik, dan terusan, semuanya dalam satu map manila. Alasanku masih memiliki salinan cerita pendek itu karena Lincoln Steffens mengirimnya kepada seorang redaktur dan dia mengembalikannya. Salinan itu tersimpan di kotak surat, sementara sisanya raib dicuri. Cerita pendek lain berjudul Up in Michigan yang kutulis sebelum Nona Stein mampir di flat kami. Aku tidak pernah menyalin tulisan karena Nona Stein menganggap itu terlalu vulgar. Kini salinan cerita pendek itu entah ada di mana.

Jadi selepas kami meninggalkan Lausanne dan berangkat menuju Italia, aku menunjukan cerita pendek tentang pacuan kuda itu kepada O’Brien, seorang lelaki yang lembut, pemalu, dengan mata biru yang pucat, dan berambut tipis lurus yang ia cukur sendiri, yang tinggal di sebuah biara di Rapallo sebagai penghuni asrama. Saat itu aku benar-benar nelangsa, dan aku kira aku tidak akan bisa menulis cerita kembali, dan aku menunjukan cerita itu karena penasaran belaka, seperti saat kau dengan bodohnya menunjukan rumah kompas yang sempat kau hilangkan dengan konyol, atau ketika kau memamerkan kakimu yang memakai sepatu bot dan berkelakar kalau kaki itu dulu diamputasi akibat kecelakaan. Lalu, ketika dia membaca cerita pendek itu, aku melihat dia lebih terpukul daripada aku. Aku tak pernah melihat siapapun terpukul akibat peristiwa selain kematian dan derita yang tak terperi, kecuali Hadley saat dia memberi tahu soal naskah yang raib itu. Dia menangis dan terus menangis dan tak bisa berkata-kata. Saat itu aku bilang padanya bahwa semengerikan apapun yang terjadi tidak mungkin seburuk itu, dan apa pun itu, tak apa-apa, tak perlu risau. Kita bisa mengatasinya. Kemudian dia menerangkan padaku. Saat itu aku tidak yakin dia membawa terusannya juga, dan aku menyewa seseorang untuk menggantikanku sebagai wartawan untuk sementara. Kala itu aku punya penghasilan yang lumayan sebagai wartawan dan naik kereta menuju Paris. Ternyata benar dan aku ingat apa yang kulakukan pada malam setelah aku masuk ke flat dan aku sadar bahwa kejadiannya seperti yang diceritakan Hadley. Kini semua itu telah berlalu dan Chick memberiku nasihat bagaimana untuk tidak menyampaikan kabar buruk; jadi aku memberi tahu O’Brien supaya tidak perlu merasa tak enak. Barangkali ada baiknya aku kehilangan karya-karya awalku dan aku bicara seolah sedang mengobarkan semangat para serdadu. Aku memberi tahu dia kalau aku sedang menulis cerita lagi, dan seperti yang telah kubilang, aku hanya mencoba berkilah supaya ia tidak perlu merasa tak enak, tapi aku bersungguh-sungguh dengan kata-kataku.

Lalu, di Lipp, aku mulai mengarang apa yang bisa aku tulis lagi setelah aku kehilangan semua tulisanku. Cerita itu berlatar di Cortina d’Ampezzo ketika aku menyusul Hadley setelah ia main ski saat musim semi di sela-sela liputanku ke Rhineland dan Ruhr. Cerita yang singkat itu berjudul Out of Season, dan aku menyembunyikan ending cerita sesungguhnya di mana lelaki tua itu yang gantung diri. Bagian itu kusembunyikan karena berdasarkan teori baruku, kau dapat menyembunyikan apapun jika kau memahami apa yang kamu sembunyikan dan bagian yang disembunyikan itu bisa menguatkan cerita dan membuat pembacanya dapat lebih dapat merasakan cerita lebih dalam daripada apa yang bisa mereka pahami.

Ya, kukira, aku bisa menerapkan teori itu supaya mereka tidak tahu. Tak diragukan lagi. Dijamin tidak ada yang mempertanyakannya. Tapi lambat laun mereka juga akan tahu sebagaimana mereka menafsirkan lukisan. Hanya perlu waktu dan rasa percaya diri saja.

Perlu kontrol diri yang lebih ketat ketika kau tidak sering merasa lapar walau harus mengurangi uang makan. Lapar adalah bentuk disiplin yang baik dan kau mendapat hikmah dari itu. Dan selama mereka tidak tahu rahasianya, kau unggul dari mereka. O, tentu, pikirku. Aku lebih unggul dari mereka sampai-sampai aku tidak punya cukup uang untuk sekadar makan secara teratur. Tak apalah jika mereka bisa menyusul sedikit.

Aku tahu aku mesti menulis novel. Tapi rasa-rasanya itu mustahil selama aku masih saja kesulitan menyusun paragraf-paragraf yang panjangnya sama seperti meresensi novel. Kini kau perlu menulis tulisan yang lebih panjang karena kau harus berlatih maraton menulis. Dulu, saat menulis novel yang raib bersama tas yang raib di Gare de Lyon it, aku masih bisa menampilkan ekspresi pemuda tanggung yang rapuh dan labil sebagaimana pemuda sepantarannya. Aku tahu barangkali ada baiknya cerita itu raib, tapi aku juga tahu aku harus menulis novel. Tapi aku akan menunda itu sampai aku tidak tahan lagi untuk menulis. Tololnya aku kalau aku menulis novel hanya karena tuntutan supaya aku bisa makan secara teratur. Ketika aku menulisnya, hanya itu tujuanku, dan tidak ada pilihan lain. Biarlah tekanan bertambah. Sementara itu aku menulis cerita panjang yang aku benar-benar pahami.

Kini, aku telah melunasi bon makan siangku dan sudah berada di luar rumah makan, lalu aku berjalan ke arah kanan dan menyeberangi rue de Rennes supaya aku tidak mampir untuk minum kopi di Deux-Magots, dan menuju rue Bonaparte melewati jalan pintas.

Apa yang benar-benar kutahu, yang belum pernah kutulis dan lepas dari genggamanku? Apa hal yang sangat aku paham dan peduli? Tidak ada satu pilihan pun. Yang ada hanya jalan pintas yang membawamu kembali ke tempatmu menulis. Aku beranjak dari Bonaparte ke Guynemer, lalu ke rue d’Assas, naik ke Notre-Dame-des-Champs menuju Closerie des Lilas.

Aku duduk di pojok sembari menulis di buku catatan bersama cahaya senja yang menyelinap melintasi pundakku. Si pelayan menyajikan cafe creme, dan aku minum setengahnya setelah kopinya dingin, lalu membiarkannya di meja selama aku menulis. Ketika rehat menulis, aku tidak ingin melewatkan sungai tempat aku bisa melihat ikan trout di dasar sungai, permukaan sungai itu beriak membentur jembatan yang bertiang kayu. Cerita ini tentang kembali dari peperangan, tapi tidak mengungkit tentang perang.

Tapi esok hari sungai akan ada di ceritaku dan aku mesti mengarang sungai itu beserta daerahnya dan segala sesuatu yang akan terjadi. Aku punya waktu untuk menulis setiap hari. Selain itu tidaklah penting. Di dalam sakuku ada uang dari si orang Jerman, jadi tidak ada hambatan. Jika uang ini habis, uang lain akan datang.

Kini, yang mesti kulakukan adalah menjaga supaya pikiranku tetap jernih hingga esok hari ketika aku melanjutkan tulisanku.

*) Diterjemahkan dari esai “Hunger Was Good Discipline” karya Ernest Hemingway dalam A Movable Feast (1979).

--

--