Kasus Kriminal

novan aulia
9 min readJun 9, 2023

--

A Man Stabbing a Woman with a Stiletto
Unknown painter, ‘A Man Stabbing a Woman with a Stiletto’

Oleh: Roberto Bolaño

Dia mendua. Dia punya pacar lain sebelumnya dan kini dia punya pacar dua. Begitulah adanya. Mereka tidak saling kenal satu sama lain. Pacar satu mengungkapkan ia sayang padanya. Pacarnya yang lain tak mengatakan apa-apa. Namun, dia tidak peduli apa yang diucapkan oleh kedua pacarnya. Ungkapan rasa sayang, ungkapan kebencian. Kata-kata. Dia mendua; begitulah adanya.

Dia seorang wartawan. Kini dia duduk di bar dekat kantornya bersama buku yang terbuka di depannya. Namun dia tidak bisa membacanya. Dia sudah mencoba membacanya, tapi tidak berhasil. Konsentrasinya buyar karena sesuatu di luar bar, meskipun tak ada yang menarik untuk dilihat. Dia menutup bukunya lantas berdiri. Pria di belakang bar melihat dia menghampirinya dan tersenyum. Dia bertanya berapa hutangnya. Si pria lantas menyebutkan berapa jumlahnya. Dia membuka dompetnya dan memberi selembar catatan. “Bagaimana?” Tanya si pria. Dia menatap matanya dan menjawab: “Seperti biasa.” Si pria menawarkan jika dia ingin lebih, dia bisa ke rumahnya. Dia menggelengkan kepalanya, “tidak, aku baik-baik saja, terima kasih.” Dia berdiri selama beberapa saat, diam menunggu sesuatu. Lalu tanpa permisi, dia keluar dan meninggalkan bar.

Dengan santai, dia kembali ke kantornya. Saat menunggu lift turun, dia melihat seorang pemuda. Umurnya sekitar dua puluh lima tahun dan mengenakan setelan lusuh dengan dasi yang coraknya menarik perhatiannya: sepasang muka biru cerah mengernyit terkejut di atas latar kehijauan. Di samping si lelaki, di atas lantai, berdiri koper yang ukurannya cukup besar. Mereka saling sapa. Pintu lift terbuka dan keduanya masuk. Setelah ditanya, si lelaki mengaku ia menjual kaos kaki. Dan jika dia tertarik, dia bisa mendapatkan harga yang miring. Dia menolaknya dan merasa curiga karena bisa berpapasan dengan sales kaos kaki di gedung, lebih-lebih di saat sebagian besar kantor sudah mulai tutup. Si sales kaos kaki keluar lebih dulu, di lantai tiga, di sana ada galeri seni dan kantor pengacara. Saat keluar, ia mengangkat tangan kirinya dan menempelkan ujung-ujung jarinya ke dahinya. “Ia memberi hormat,” pikirnya, lantas senyum padanya. Selama pintu lift menutup, si lelaki membalas senyumnya.

Sesampainya di kantor, hanya ada seorang wanita di sana, duduk di kursi dekat jendela sambil merokok. Si wartawan berjalan menuju meja kerjanya, menyalakan komputer, dan melangkahkan kakinya ke arah jendela. Di saat yang sama, wanita yang merokok menyadari keberadaan si wartawan dan meliriknya. Si wartawan lantas duduk di kusen jendela dan melongok ke arah jalan di bawah gedung, yang tak jarang membuat dia merasa mual. Mereka terdiam selama beberapa saat. Wanita yang merokok lantas menanyakan kabar si wartawan. “Baik,” sahutnya, “aku kembali untuk menyelesaikan tulisan tentang Calama.” Wanita yang merokok itu berbalik dan mengarahkan pandangannya ke luar jendela, memperhatikan jalanan seperti sungai yang membawa mobil-mobil mengalir dari pusat kota. Dia lantas menyipitkan kedua matanya dan tertawa. “Aku pernah membaca tulisan tentang itu,” ujarnya. “Bacot,” kata si wartawan. “Kasusnya agak lucu,” kata wanita yang merokok. “Aku tidak paham,” kata si wartawan. Setelah berpikir sejenak, si wanita yang merokok berujar, “sebetulnya kasusnya sama sekali tidak lucu,” dan ia kembali melihat ke arah lalu lalang kendaraan. Si wartawan beranjak dari jendela dan pindah ke meja kerjanya. Dia harus menyelesaikan tulisannya, walau sudah terlambat. Dia mengambil walkman dari laci dan mengenakan headphone. Dia mulai menulis. Namun beberapa saat kemudian, ia melepas headphone-nya dan memutar kursinya. “Ada yang janggal dari kasus ini,” katanya. Wanita yang merokok itu menoleh dan bertanya apa yang dia maksud. “Tentang wanita di Calama,” katanya. Pada saat yang sama, kesunyian di ruang redaksi tak terelakan. Atau seperti itulah kira-kira. Bahkan bunyi dengung lift pun tidak terdengar sama sekali.

“Ia berumur dua puluh tujuh tahun dan ia ditikam sebanyak dua puluh tujuh kali. Sangat kebetulan.” “Kenapa?” Tanya wanita yang merokok, “kasus seperti itu terjadi.” “Ia ditikam berkali-kali,” jawab si wartawan, meski tak yakin. “Aku pernah menemukan kasus yang lebih aneh,” kata si wanita perokok. Setelah terdiam sejenak, ia menambahkan: “barangkali cuman tipo.” “Bisa jadi,” pikir si wartawan. “Apa ada sesuatu yang membuatmu resah?” Tanya wanita yang merokok. “Korban,” jawab si wartawan. “Korban bisa saja salah satu dari kita.” Wanita yang merokok memperhatikannya sambil mengernyit. “Bisa saja aku korbannya,” kata si wartawan. “Tidak mungkin — kau berbeda dengan dia,” kata si wanita perokok. “Tapi aku selingkuh seperti dia,” sahut si wartawan. Wanita yang merokok senyum dan menegaskan: “tidak mungkin. Semua orang membencinya, entah apa alasannya.” “Membenci siapa?” “Korban, tentunya.” Lalu wanita yang merokok mengangkat bahunya. “Reporter-reporter yang meliput kasus seperti ini tidak lebih baik daripada para pembunuh.” “Tidak semuanya,” kata wanita yang merokok, “ada juga yang benar-benar baik.” “Mereka kebanyakan cuma tukang mabok yang tolol”, gumam si wartawan. “Tidak semuanya,” kata si wanita perokok. “Dua puluh tujuh tahun, dua puluh tujuh tikaman. “ “Aku tak yakin.” “Entahlah, barangkali ia menyamai jumlah tikaman dengan umur korbannya.” “Dia punya anak yang usianya sembilan tahun,” kata si wartawan, yang sedang memegang headphone di tangan kirinya sembari mengelus-elusnya. Wanita yang merokok lantas menekan ujung rokok ke asbak di sebelah jendela lalu bangkit berdiri. “Yuk,” ajaknya. “Tidak, aku di sini dulu,” kata si wartawan, lantas kembali mengenakan headphone.

Dia mendengarkan Delalande. Punggungnya terasa nyeri, tapi dia merasa baik-baik saja dan ingin lanjut menulis. Dari sudut matanya, dia melihat wanita yang barusan merokok itu membungkuk di atas meja dan menaruh sesuatu ke dalam tasnya. Tak lama berselang, ia merasakan tangan rekannya menekan pundaknya dengan lembut dan berpamitan. Dia lalu kembali melanjutkan tulisannya. Setengah jam kemudian, dia beres-beres dan pergi ke ruang arsip (yang hampir tidak akan dia dikunjungi lagi) dan di sana dia melihat lelaki itu.

Si lelaki berdiri di sana, melihat dia dengan senyum simpul di wajahnya di depan pintu yang terbuka, tapi enggan melewati bendul pintu. Sembari menutupi rasa kagetnya, dia bertanya apa yang lelaki itu cari. “Ini aku,” jawabnya, “sales kaos kaki.” Koper miliknya tersandar di kakinya. “Aku tahu,” kata dia, “aku tidak mau membeli apapun. Aku cuman mau melihat-lihat saja,” kata si lelaki. Dia menatapnya sejenak; dia tak lagi terkejut, melainkan merasa jengkel. Dia merasa kehadiran sales muda itu merupakan petunjuk dari hal yang penting, tapi tidak tahu petunjuk dari apa. Yang dia tahu itu penting (atau lebih penting dari yang ia tahu) dan dia tak lagi merasa terkejut. “Kau bukannya pernah bekerja di media?” Tanya dia. “Belum pernah, sebetulnya,” sahut lelaki itu. “Mari,” ajak dia. Si lelaki dengan ragu-ragu atau pura-pura ragu mengangkat kopernya dan melangkah masuk. “Kau wartawan?” Dia menganggukan kepalanya. “Dan apa yang kau tulis?” Dia berkata dia sedang menulis berita tentang kasus pembunuhan. Si sales kaos kaki meletakan kopernya dan sorot matanya bergerak dari satu meja ke meja lain. “Boleh aku mengatakan sesuatu?” Dia lantas memandangnya dengan tatapan kosong. “Di dalam lift,” kata si lelaki, “kau kelihatan sedih karena sesuatu.” “Aku?” Tanya dia. “Iya, aku rasa kau sedang sedih, walaupun aku tidak tahu kenapa.” “Semua orang sedih,” ujarnya seolah-olah itu merupakan hal yang lumrah. Keduanya tidak ada satu pun yang duduk. Si lelaki berdiri membelakangi pintu, sementara dia menjauh dan berdiri di dekat jendela. Kini mereka sama-sama diam membeku, mematung, menanti. Namun saat keduanya bicara, suara mereka punya nada sumbang yang serupa.

“Kasus apa yang sedang kau tulis?” Tanya si lelaki. “Kasus pembunuhan seorang wanita,” sahutnya. Si lelaki lantas tersenyum. “Senyumannya manis,” pikir dia, “walaupun senyumannya membuat ia tampak lebih tua (usianya mungkin tidak lebih dari dua puluh lima tahun).” “Perempuan selalu jadi korban,” kata si lelaki, sembari menunjukkan bahasa tubuh yang tidak dia mengerti dengan tangan kanannya. Seolah baru tersentak dari tidur, dia baru sadar dia hanya berdua dengan orang asing di kantor, di saat gedung mulai sepi. Rasa gemetar menjalar ke seluruh tubuhnya. Si lelaki menyadarinya, dan mencari tempat untuk duduk supaya dia menjadi lebih tenang. Ketika ia duduk, si lelaki tampak lebih tinggi. “Cerita tentang kasusnya,” kata si lelaki. Permintaannya membuat dia jengah. “Tunggu sampai kasusnya selesai dulu.” “Jangan, sekarang saja, barangkali aku bisa memberi saran,” kata si lelaki. “Kau ahli dalam kasus pembunuhan, tidak?” Kata dia. Si lelaki memandangnya tanpa memberi jawaban. Si wartawan sadar dia telah menyinggungnya dan mencoba mencairkan suasana. Namun sebelum dia mengatakan sesuatu, si lelaki keburu menjelaskan bahwa ia tidak ahli dalam kasus pembunuhan. “Dan kenapa aku harus cerita?” Kata dia. “Barangkali kau mau curhat.” “Benar juga,” kata dia. Si lelaki kembali tersenyum. “Kasus wanita yang cerai dengan suaminya,” kata dia. “Pelakunya mantan suaminya?” “Bukan. Mantan suaminya tidak ada hubungannya dengan kasusnya.” “Kenapa kau sangat yakin?” “Karena mereka telah meringkus pembunuhnya di hari yang sama,” kata dia.” “O, aku mengerti,” kata si lelaki. “Umurnya dua puluh tujuh tahun, dia cerai dengan suaminya, lantas punya pacar dan dia tinggal bersama pacarnya, yang lebih muda darinya, umurnya dua puluh empat tahun, lalu dia putus dengan pacarnya dan pacaran dengan lelaki lain.” “Pacar A dan pacar B,” sela si lelaki. “Begitulah,” kata dia, mendadak dia merasa nyaman, lelah tapi nyaman, seolah-olah satu konflik batinnya (yang menurutnya juntrungannya tak jelas) sudah berakhir dan pupus.

“Dugaanku,” kata si sales kaos kaki, “dia sangat cantik.” “Benar,” dia sangat cantik juga masih sangat muda.” “Ya, walau tidak terlalu muda juga,” ucap si lelaki. “Jadi menurutmu perempuan berusia dua puluh tujuh tahun tidak lagi muda?” “Ah, coba berpikir lebih objektif: masih muda, jelas, tapi tidak terlalu muda,” terang si lelaki. “Umurmu berapa?” “Dua puluh sembilan tahun.” “Aku kira umurmu dua puluh lima tahun,” kata dia. “Salah, dua puluh sembilan tahun.” Si lelaki tidak balik bertanya berapa umur dia. “Ia bekerja atau dinafkahi pacarnya?” “Ia seorang sekretaris. Ia tidak dinafkahi oleh siapa pun. Dan dia juga punya anak yang berusia sembilan tahun.” “Lalu siapa yang membunuhnya, pacar A atau pacar B?” Ia bertanya. “Menurutmu siapa? “Pacar A, jelas.” Dia lantas mengiyakannya. “Karena ia cemburu.” “Benar,” kata dia. “Jadi menurutmu itu hanya karena ia cemburu?” “Tidak,” kata dia. “Ah, jadi kau tahu, kita rupanya punya pandangan yang sama, kau dan aku,” kata si lelaki. Dia memutuskan untuk tidak menanggapinya dan menjauh dari jendela. “Aku mau menyalakan lampu,” kata si lelaki. “Tidak usah, biarkan saja,” kata dia, sembari menarik kursinya lantas duduk. Sesaat kemudian, si lelaki berkata: “kasusnya membuatmu makin sedih, kasus pembunuhan yang terjadi beberapa bulan lalu.” “Kurasa begitu.” Dia memandangnya tanpa berkata sepatah kata pun. “Kau barangkali merasakan perasaan korban? Kau sudah menikah?” “Tidak,” kata dia, “tapi aku berusaha berempati ke korban sedikit-sedikit.” “Kau sudah menikah?” “Belum.” “Aku juga belum,” timpal si lelaki, “tapi aku pernah tinggal bersama dengan beberapa perempuan.” “Menurutmu apakah laki-laki mempermasalahkan perempuan yang nafsunya kelewat besar?” Si lelaki bertanya. Dia memalingkan muka: di balik kaca jendela, kegelapan menyelimuti gedung. Dia mendadak merasa seperti mengidap klaustrofobia. “Ia dibunuh karena dia menyukainya,” ujar si wartawan dengan memalingkan mukanya. Dia mendengar lelaki itu berkata, “ah,” dan kata ah itu nadanya seperti berada di antara kegetiran dan keputusasaan. “Ia biasa bangun pagi, pukul enam seperempat setiap setiap paginya. Ia bekerja di tambang di Calama, dia bekerja sebagai sekretaris, dan dari berita dari koran-koran, kehidupan asmaranya yang memicu konflik tak berkesudahan.” “Konflik tak berkesudahan,” si lelaki mengulangi kata-katanya, “sangat puitis.” “Mantan pacarnya jatuh cinta padanya, walau dia tidak cantik jelita,” kata dia. “Cantik itu relatif,” lelaki itu menambahkan: “ada semacam konsep kecantikan yang sama bagi semua orang.” “Itu menurutmu?” Kata dia, sembari menatapnya kembali, dengan mantap. “Ya, menurutku begitu,” si sales kaos kaki, “semua orang: ada yang jelek, kurang jelek, biasa-biasa saja, dan cantik.” “Tapi hanya karena yang kurang jelek tampak menarik bagi yang jelek tidak serta-merta membuat mereka menjadi cantik.” “Jadi kau paham maksudku,” kata si lelaki. “Iya, aku paham,” ucap dia dengan nada menyindir, “tapi aku tidak sependapat: kecantikan itu seperti keadilan yang sama bagi setiap orang. Keadilan sama bagi semua orang bukan?” “Tidak lucu,” kata si lelaki. “Menurut teori, memang seperti itu. Namun tidak semua sama dengan teori,” ia membuang napasnya dan berhenti menyanggahnya; “Cerita lebih banyak tentang sekretaris yang dibunuh itu. Kau melihat mayatnya?” “Mayat? Tidak, aku tidak lihat. Aku tidak meliput kasusnya, aku hanya menulis berita tentang kasus kriminalnya.” “Jadi kau tidak ke kamar mayat di Calama? Kau tidak melihat korban atau bicara dengan pembunuhnya?” Dia menatapnya dengan senyuman yang mencurigakan. “Pembunuhnya, ya, aku sempat bicara padanya,” katanya.

“Ya, setidaknya kau memperoleh sesuatu,” kata si lelaki, “terus?” “Tidak,” kata dia, “kami mengobrol, pembunuhnya mengaku menyesali atas apa yang telah ia lakukan, ia bilang ia terobsesi pada korban,” lanjutnya. “Mereka bertemu di bandara di Calama; ia seorang satpam, dan korban kerja sebagai resepsionis di sana untuk sementara waktu.” “Sebelum bekerja di tambang,” kata si sales kaos kaki. “Di perusahaan tambang,” kata dia. “Sama saja,” kata si lelaki. “Ya, tidak juga.” “Dan bagaimana cara ia membunuhnya?” Si lelaki bertanya. “Dengan pisau,” sahutnya. “Ia menikam korban sebanyak dua puluh tujuh kali. Tidakkah menurutmu kasusnya janggal?” Ia sejenak menunduk memperhatikan ujung-ujung sepatunya, lalu memandangnya dan berkata, “kenapa aku harus berpikir begitu?” “Bukti bahwa umurnya dua puluh tujuh tahun dan dia ditikam sebanyak dua puluh tujuh kali.” Seketika emosinya memuncak dan dia mengaku, “aku berada dalam situasi yang hampir sama, jadi aku rasa aku suatu hari nanti aku akan dibunuh juga.” Dia hampir keceplosan berseru, “dan kau bangsat yang akan membunuhku,” tapi untungnya dia bisa menguasai dirinya tepat sebelum terlambat. Dia gemetaran. Namun, si lelaki tak tahu duduk perkaranya. “Singkatnya: mantan korban yang membunuhnya. Di malam saat dia dibunuh, dia tidur dengan pacarnya. Si mantan memergokinya. Lelaki itu diberitahu orang lain dan wanita itu mengakuinya. Si lelaki cemburu buta. Ia lantas menghadik dan mengancamnya. Namun korban tidak peduli; dia lebih memilih untuk menghiraukannya. Dia bertemu dengan lelaki lain. Saling memadu kasih. Itulah motif pembunuhan ini: karena enggan berkompromi, dia menjemput ajalnya.” “Ya,” kata si sales kaos kaos kaki, “aku mengerti.” “Tidak, kau sama sekali tidak mengerti.”

*) Diterjemahkan dari cerita pendek “Crimes” karya Roberto Bolaño dalam buku The Secret of Evil (2012).

--

--